MAKALAH EVALUASI IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pelayanan kesehatan di Indonesia tumbuh dan berkembang secara tradisional mengikuti perkembangan pasar dan sedikit sekali pengaruh intervensi pemerintah dalam sistem pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah sakit pemerintah maupun swasta sama-sama menggunakan sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) karena secara tradisional sistem itulah yang berkembang. Sistem ini juga merupakan sistem paling sederhana yang tumbuh dan terus digunakan karena tekanan untuk pengendalian biaya belum tampak. Di negara maju, baik di Eropa, Amerika, maupun Asia, tekanan tingginya biaya kesehatan sudah lama dirasakan. Semua pihak ingin mengendalikan biaya kesehatan tersebut, karena semua pihak sudah merasakan beban ekonomi yang berat untuk membayar kontribusi asuransi kesehatan sosial atau anggaran belanja negara, atau membeli premi asuransi kesehatan swasta. Tekanan inilah yang mendorong implementasi berbagai sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Di Indonesia, biaya pelayanan kesehatan masih sangat rendah, bahkan boleh dikatakan masalah sesungguhnya yang kita hadapi adalah masalah rendahnya akses kepada fasilitas kesehatan, dan bukan mahalnya biaya kesehatan.
Meskipun tekanan untuk penerapan berbagai sistem pembayaran belum besar di Indonesia, praktik beberapa sistem pembayaran alternatif, selain jasa per pelayanan, sudah dilaksanakan oleh beberapa pihak misalnya PT Askes Indonesia dan beberapa perusahaan yang sudah merasakan perlunya kendali biaya. Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mendorong tumbuhnya sistem asuransi kesehatan sosial di Indonesia sudah mengantisipasi hal itu dan karenanya sudah memberikan indikasi akan perlunya penerapan sistem pembayaran prospektif. Bahkan pada tahun 2005 Departemen Kesehatan telah memulai penerapan SJSN tersebut dengan memberikan jaminan kepada penduduk yang berobat ke puskesmas atau dirawat di RS kelas III. Sistem jaminan oleh pemerintah ini dikelola oleh PT Askes agar sistem pembayaran dapat dilaksanakan guna mendorong efisiensi dalam sistem kesehatan Indonesia. Dalam sistem tersebut, PT Askes sudah membayar puskesmas dengan sistem kapitasi dan membayar rumah sakit dengan sistem paket.
B.       Rumusan Masalah
1.    Seperti apa pembiayaan dan dilema biaya kesehatan di Indonesia?
2.    Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi biaya kesehatan?
3.    Apa saja jenis-jenis sistem pembiayaan kesehatan?
4.    Seperti apa masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia? Dan bagaimana upaya penyelesaiannya?
C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah Evaluasi Implementasi Pembiayaan Kesehatan di Indonesia, yaitu:
1.    Mengetahui dan memahami pembiayaan dan dilema biaya kesehatan di Indonesia.
2.    Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi biaya kesehatan.
3.    Mengetahui dan memahami jenis-jenis sistem pembiayaan kesehatan.
4.    Mengetahui masalah pembiayaan kesehatan dan memahami upaya untuk menyelesaikannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pembiayaan dan Dilema Biaya  Kesehatan
Pembiayaan kesehatan atau lebih tepatnya disebut pendanaan kesehatan, merupakan suatu cara dalam memungkinkan seseorang memenuhi kebutuhan medisnya. Pada dasarnya, setiap orang bertanggng jawab untuk mendanai sendiri pelayanan kesehatan perorangan yang dibutuhkannya untuk bisa hidup sehat dan produktif. Namun karena sifat pelayanan kesehatan tidak pasti waktu dan besarannya, maka kebanyakan orang tidak mampu mengeluarkan dana untuk memenuhi seluruh kebutuhan medis ketika sakit berat. Pada waktu seseorang menderita sakit ringan, misalnya pilek atau diare ringan, umumnya orang mampu mendanai sendiri dengan cara membeli obat di warung atau datang ke puskesmas. Namun demikian, bagaimana kalau seseorang menderita suatu tumor perut yang perlu operasi dan perlu biaya, misalnya 15 juta? Tidak semua orang serta merta mampu mendanainya dari kantong sendiri.
Sebagai manusia dimanapun mereka berada, seseorang yang sakit pada hakikatnya adalah orang yang terkena musibah dan karenanya orang lain akan secara manusiawi membantunya. Sayangnya, kejadian sakit tidak pasti datangnya dan tidak pasti besaran biaya yang dibutuhkannya, sehingga hampir semua orang tidak memiliki tabungan khusus untuk biaya berobat atau biaya operasi. Ketika seseorang tidak mampu mendanai biaya operasi sebesar Rp 15 juta tersebut, maka orang lain disekitarnya wajib membantu atau menolong. Ini prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena orang sakit adalah orang yang terkena musibah atau orang yang tertimpa bencana alamiah. Hanya saja dalam praktik di Indonesia pertolongan orang disekitarnya tidak terjadi spontan dan memadai. Umumnya orang yang memerlukan biaya operasi sebesar itu akan meminjam dari keluarga, teman atau majikannya. Seringkali tidak mudah meminjam dan seringkali juga mereka tidak sanggup. Jadi gotong-royong spontan dari orang disekitar dalam membantu sesama yang sakit berat gagal memenuhi kebutuhan medis orang yang sedang sakit.
Karena kegagalan tersebut, maka di dunia umumnya ada dua metode yang ampuh dalam menangani pendanaan kesehatan setiap orang. Pertama adalah pendanaan oleh pemerintah secara penuh. Hal ini terjadi di Malaysia, Brunei, Hongkong, Sri Lanka, Inggris, dan Saudi Arabia. Di negara-negara tersebut, penduduk hanya membayar sekadarnya, misalnya di Muangthai hanya membayar Rp 6.000 sekali dirawat-berapa hari pun penduduk dirawat dan tidak tergantung perlu operasi atau masuk ICU, atau penduduk mendapat pelayanan gratis seperti di Inggris-termasuk transplantasi jika diperlukan. Sayangnya Indonesia tidak sanggup mendanai pelayanan gratis atau hampir gratis seperti di negara-negara tersebut.
Karena kemampuan negara tidak memadai untuk mendanai pelayanan kesehatan gratis untuk semua, kecuali yang miskin yang kini didanai melalui PT Askes, maka harus ada mekanisme lain. Mekanisme lain adalah mekanisme asuransi kesehatan sosial. Asuransi kesehatan sosial adalah asuransi yang wajib diikuti oleh mereka yang memiliki upah atau penghasilan, iurannya dibayar setiap bulan dari potongan upah/penghasilan misalnya 2%, 3% atau 5%, dan pelayanan kesehatan yang dijamin ditetapkan sama untuk seluruh peserta oleh peraturan perundangan. Sebaliknya asuransi kesehatan komersial bersifat jual beli sukarela, preminya ditetapkan sebagai harga jual oleh perusahaan asuransi atau bapel JPKM, dan paket tersedia berbagai pilihan paket jaminan yang dikehendaki dan sanggup dibeli oleh peserta. Idealnya semua orang membeli asuransi kesehatan sesuai kemampuan keuangannya tetapi jaminannya memenuhi kebutuhan medis. Namun demikian, hal yang ideal tersebut tidak pernah terjadi di dunia. Maka cara terakhir adalah mewajibkan seluruh penduduk yang memiliki upah atau penghasilan menjadi peserta asuransi kesehatan. Untuk pegawai negeri hal ini sudah berlangsung 37 tahun, UU SJSN telah menancapkan fondasi untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan sosial untuk seluruh penduduk. Inilah yang akan menjadi tulang punggung pendanaan kesehatan di Indonesia dikemudian hari.
Namun harus disadari bahwa perluasan asuransi kesehatan akan menyebabkan kenaikan biaya kesehatan. Oleh karenanya, sebuah asuransi kesehatan harus mengendalikan biaya kesehatan tersebut dengan berbagai cara pembayaran kepada fasilitas kesehatan yang memungkinkan biaya kesehatan menjadi terkendali dan karenanya iuran asuransi kesehatan menjadi tidak terlalu mahal.
Biaya kesehatan adalah masukan (input) finansial yang diperlukan dalam rangka memproduksi pelayanan kesehatan, baik yang bersifat promotif-preventif maupun yang bersifat kuratif-rehabilitatif. Tidak ada dikotomi pembiayaan kesehatan untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif. Semua kegiatan tersebut merupakan suatu kesinambungan (continuum) yang perlu dilaksanakan guna mencapai tujuan kesehatan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masukan finansial, berupa dana dari pemerintah maupun dari masyarakat kemudian di hitung per unit pelayanan. Jumlah uang yang dibelanjakan untuk memproduksi satu unit atau kelompok unit pelayanan merupakan biaya produksi pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan kemudian menagih atau meminta pasien membayar (baik langsung dari kantong sendiri maupun dari pihak pembayarnya) sejumlah uang yang biasanya lebih besar dari biaya produksi. Tagihan ini disebut harga pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan.
Harga pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan merupakan biaya bagi pembayar, baik instansi maupun perorangan. Sebagai contoh, tagihan rumah sakit sebesar Rp 1.000.000 kepada seorang pasien peserta PT Askes atau PT Jamsostek merupakan harga/tarif (bukan biaya) bagi rumah sakit. Akan tetapi, tagihan tersebut menjadi biaya bagi PT Askes atau PT Jamsostek karena besarnya uang yang dibayarkan oleh kedua asuransi tersebut merupakan beban biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka produksi sistem asuransi yang dikelolanya. Berbagai faktor seperti biaya hidup pegawai fasilitas kesehatan, tuntutan dokter, harga obat-obatan, harga dan kelengkapan peralatan medis, biaya listrik, biaya kebersihan, biaya perizinan dan sebagainya menentukan biaya pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan.
Pelayanan medik khususnya di rumah sakit mempunyai dilema yang tidak dimiliki oleh pelayanan lain seperti pada pelayanan hotel, bengkel mobil dan pelayanan restoran. Pelayanan medis di rumah sakit merupakan pelayanan yang dibutuhkan setiap orang di era modern, paling sedikit sekali dalam masa hidupnya. Pelayanan medis di rumah sakit bersifat tidak pasti (uncertain) (Feldstein, 1998; Phelps; Rappaport), baik waktu, tempat, maupun besar biaya yang dibutuhkan (Thabrany, 2005). Karena sifat pelayanan yang tidak pasti, maka tidak semua orang siap dengan uang yang dibutuhkan untuk membiayai pelayanan tersebut. Di lain pihak rumah sakit yang tidak mendapat pendanaan sepenuhnya dari pemerintah mengalami dilema harus menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan seperti jasa dokter, bahan medis habis pakai, sewa alat medis, biaya listrik, biaya pemeliharaan gedung, dan biaya-biaya modal atau investasi lainnya. Dalam pelayanan rumah sakit, sering terdapat bad debt, yang merupakan biaya rumah sakit yang tidak bisa ditagih kepada pasien/keluarga pasien. Agar rumah sakit bisa terus menyediakan pelayanan, besarnya bad debt harus dikompensasi dengan penerimaan lain, yang sering kali dibebankan, baik secara eksplisit maupun diperhitungkan dalam rencana perhitungan penarifan, kepada pasien lain yang mampu membayar atau yang dibayar oleh majikan pasien atau oleh perusahaan asuransi (Thabrany dkk, 2017).




B.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biaya Kesehatan
Pada garis besarnya, biaya pelayanan medis di rumah sakit terus meningkat dari tahun ke tahun di negara manapun. Menurut Donald F. Beck (1984) peningkatan biaya pelayanan medis bersumber dari dua kelompok utama yaitu inflasi biaya normal dan biaya pelayanan yang baru dan lebih baik. Komponen inflasi biaya rumah sakit mencakup dua per tiga kenaikan  biaya rumah sakit dan sepertiga kenaikan biaya bersumber dari pelayanan teknologi baru yang lebih baik dan lebih mahal. Howard Smith dan Myron Fottler (1985) menyatakan bahwa inflasi biaya kesehatan selalu lebih tinggi dari inflasi biaya umum karena dalam banyak hal pimpinan rumah sakit tidak punya kendali atas biaya pelayanan medis di rumah sakit. Selain rumah sakit, kebijakan pemerintah, pembayar pihak ketiga seperti asuransi, tenaga kesehatan sendiri, dan masyarakat tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya.
Tingginya tagihan rumah sakit, yang menjadi biaya bagi pihak asuransi, mendorong pihak asuransi atau pemerintah (dalam hal biaya rumah sakit bagi penduduk dibayar pemerintah-seperti yang dilakukan di Malayasia), untuk mengembangkan sistem pembayaran prospektif. Secara umum sistem pembayaran pelayanan rumah sakit dapat berbentuk satu atau lebih dari pilihan berikut (Kongstvedt, 1996):
1.         Sesuai tagihan, biasanya secara retrospktif dan sesuai jasa per pelayanan.
2.         Sesuai tagihan akan tetapi dengan negosiasi diskon/rabat khusus.
3.         Diagnostic related group (DRG).
4.         Kapitasi
5.         Per kasus
6.         Per diem
7.         Bed leasing (sewa tempat tidur).
8.         Performance based incentives.
9.         Global budget
C.      Sistem Pembayaran
1.         Sistem pembayaran retrospektif
Pembayaran retrospektif sesuai namanya berarti bahwa besaran biaya dan jumlah biaya yang harus dibayar oleh pasien atau pihak pembayar, misalnya asuransi atau perusahaan majikan pasien, ditetapkan setelah pelayanan diberikan. Kata retro berarti dibelakang atau ditetapkan belakangan setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran retrospektif merupakan cara pembayaran yang sejak awal pelayanan kesehatan dikelola secara bisnis, artinya pihak fasilitas kesehatan menetapkan tarif pelayanan. Oleh karenanya cara pembayaran ini disebut juga dengan cara pembayaran tradisional atau fee for service (jasa per pelayanan). Di Indonesia, cara pembayaran jasa per pelayanan sering disebut dengan istilah cara pembayaran out of pocket (dari kantong sendiri).
Penggunaan istilah cara pembayaran dari kantong sendiri (DKS) untuk cara pembayaran jasa per pelayanan (JPP) sesungguhnya tidak tepat. Cara pembayaran jasa per pelayanan adalah cara fasilitas kesehatan menagih biaya yang dirinci menurut pelayanan yang diberikan, misalnya biaya untuk tiap visit dokter, infus, biaya ruangan, tiap jenis obat yang diberikan, tiap jenis pemeriksaan laboratorium, dan sebagainya. Sedangkan DKS merupakan sumber dana untuk membayar secara JPP. Pembayaran DKS dapat berbentuk JPP dan dapat juga berbentuk sejumlah uang tetap. Misalnya di Malaysia, seorang pasien berobat di rumah sakit publik (rumah sakit pemerintah) hanya membayar 1 RM (Rp. 2.300) untuk setiap konsultasi dokter spesialis, termasuk obat dan pemeriksaan penunjang, atau 3 RM per hari (Rp. 6.300 di tahun 2005) untuk setiap hari perawatan, meskipun perawatan tersebut merupakan perawatan sakit ringan maupun perawatan untuk transplantasi ginjal. Di Muangthai, pasien hanya membayar 30 Baht (setara Rp. 6.000) per episode perawatan, artinya sampai pasien pulang dari rumah sakit tanpa memperhatikan jumlah hari perawatan. Selain DKS, pembayaran JPP dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk seorang karyawan atau anggota keluarga karyawan tersebut yang menjadi tanggungan perusahaan atau oleh sebuah usaha asuransi.
Dari sisi pengendalian biaya kesehatan, cara pembayaran JPP ini mempunyai kelemahan karena fasilitas kesehatan maupun dokter akan terus dirangsang (mendapat insentif) untuk memberikan pelayanan lebih banyak. Semakin banyak jenis pelayanan yang diberikan semakin banyak  fasilitas kesehatan atau dokter mendapatkan uang. Semakin banyak visit dokter, semakin banyak dokter tersebut memperoleh jasa/pengasilan. Padahal visit/pemeriksaan berulang-ulang mungkin tidak memberikan manfaat pada pasiennya. Begitu juga dengan jenis tindakan diagnosis seperti laboratorium atau prosedur lainnya. Pasien akan ditagih setiap jenis pemeriksaan. Kondisi seperti ini disebut moral harazd/abuse dalam pelayanan kesehatan. Kesulitan besar pengendalian biaya dengan pembayaran JPP adalah bahwa pasien tidak memahami apakah suatu pelayanan memang diperlukan, diperlukan sesering yang diberikan, dan besarnya tiap-tiap tarif jasa. Oleh karena cara pembayaran retrospektif ini mempunyai potensi pemborosan dan kenaikan biaya kesehatan, maka diseluruh dunia pemerintah berupaya mengendalikan biaya dengan melakukan cara pembayaran prospektif.
Pembayaran retrospektif yang pada umumnya berbentuk pembayaran JPP dapat bersumber dari:
a.         Uang yang dimiliki pasien atau keluarga pasien atau DKS.
b.         Uang yang bersumber dari majikan pasien atau keluarga pasien.
c.         Uang yang  bersumber dari perusahaan atau badan asurasi/jaminan sosial seperti PT Askes dan PT Jamsostek atau badan asuransi komersial seperti bapel Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) dan perusahaan asuransi.
d.         Uang pemerintah yang mengganti biaya seorang pasien misalnya pada korban pemboman di Hotel Mariott atau di depan Kedutaan Besar Australia.
e.         Uang yang bersumber dari lembaga donor seperti Dompet Duafa, Dana Kemanusiaan Kompas, RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, dan lain-lain.
f.          Uang yang bersumber dari keluarga besar pasien atau kerabat pasien yang menyumbang untuk pengobatan seorang pasien.
2.         Sistem pembayaran prospektif
Pembayaran prospektif terdiri dari berbagai jenis pembayaran seperti diagnostic related group, kapitasi, Pembayaran per kasus/paket, per diem, dan global budget.
a.         Diagnostic Related Group (DRG)
DRG merupakan sistem pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis, bukan biaya satuan per jenis pelayanan medis maupun non medis yang diberikan kepada seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Sebagai contoh jika seorang pasien menderita demam berdarah, maka pembayaran ke rumah sakit sama besarnya untuk setiap kasus demam berdarah, tanpa memperhatikan berapa kali pasien dirawat di sebuah rumah sakit dan jenis rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan berdasarkan diagnosis keluar pasien. Konsep DRG sesungguhnya sederhana yaitu bahwa rumah sakit mendapat pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit untuk suatu diagnosis. Jika di Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di tahun 2004 dan dari hasil analisis biaya diperoleh angka rata-rata biaya per kasus misalnya adalah Rp 2 juta, maka setiap rumah sakit di Jakarta yang mengobati pasien demam berdarah akan di bayar Rp 2 juta untuk setiap pasien dengan diagnosis demam berdarah.
Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada seorang pasien. Akan tetapi rumah sakit hanya menyampaikan diagnosis pasien waktu pulang dengan memasukkan kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut sudah disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar misalnya badan asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan. Contoh pembayaran DRG dari program DRG di Australia dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Besaran DRG di Indonesia belum pernah dihitung, upaya menghitung besaran DRG baru dalam proses studi oleh Dirjen Yanmed. Meskipun upaya memperkenalkan DRG di Indonesia sudah lama dilakukan dan tim DRG sudah beberapa kali dibentuk di Depkes, tetapi karena pembayar mayoritas (asuransi atau pemerintah) belum ada asuransi kesehatan nasional, maka dorongan untuk pembayaran cara DRG belum terbentuk.
Tabel 2.1 Contoh DRG dan Besaran Tarif DRG di Australia, 2004 
Kode
Jenis Diagnosis (DRG)

Rata-rata biaya per DRG (AS)
ALOS
Total
Langsung
Tak
(Hari)
Langsung
A01Z
Transplantasi hati
31,46
91,078
71,051
20,027
A02Z
Transplantasi berbagai organ
18,28
41,703
35,417
6,286
A06Z
Trekeostomi
29,76
52,976
40,678
12,298
A40Z
Bedah jantung
16,14
48,748
37,44
11,308
A41Z
Intubasi anak usia <16 tahun
7,37
12,219
8,742
3,477
B03A
Sectio Caesarea dengan bius spinal
14,88
15,119
11,492
3,627
Sumber: Website Departement of Family Service Australia,2004
Harus dipahami bahwa besaran pembayaran DRG perlu per suatu diagnosis baru dapat dilaksanakan jika sistem informasi di rumah sakit sudah berjalan dengan baik, sehingga tiap-tiap catatan medis sudah mencantumkan kode diagnosis yang akurat dan seluruh biaya yang harus dikeluarkan pasien/pembayar (termasuk obat-obatan) sudah terekam. Penggantian biaya per diagnosis menggunakan dasar rata-rata biaya yang dihabiskan untuk pengobatan/perawatan pasien dengan suatu diagnosis dari berbagai rumah sakit di suatu wilayah, bukan dari rata-rata biaya di suatu rumah sakit saja. Oleh karena itu, sistem informasi seluruh rumah sakit harus tertata lebih dahulu, barulah besaran pembayaran DRG dapat dihitung dan diberlakukan dengan efek yang diharapkan.
Pembayaran dengan cara DRG memiliki keutamaan sebagai berikut:
1)   Memudahkan administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar.
2)   Memudahkan pasien memahami besaran biaya yang harus dibayarnya.
3)   Memudahkan penghitungan pendapatan (revenue) rumah sakit.
4)   Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk menggunakan sumber daya seefisien mugkin.
5)   Memudahkan pemahaman klien dalam melakukan sosialisasi/pemasaran pelayanan rumah sakit.
6)   Memberikan surplus atau laba yang lebih besar kepada rumah sakit yang lebih efisien dan menimbulkan kerugian bagi rumah sakit yang tidak efisien. Artinya cara pembayaran DRG akan mendorong rumah sakit menjadi leh profesional dan lebih efisien.
Selain memberikan keutamaan, pembayaran DRG juga mempunyai kelemahan sebagai berikut:
1)   Penerapannya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup dominan, misalnya dengan sistem asuransi kesehatan nasional atau pemerintah yang membayar pelayanan medis bagi rakyatnya.
2)   Penerapannya membutuhkan sistem informasi kesehatan, khususnya pencatatan rekam medis yang akurat dan komprehensif.
3)   Sistem pembayaran DRG di dalam lingkungan rumah sakit yang mayoritas pasiennya membayar dari kantong sendiri sulit dilaksanakan kecuali jika ada komitmen kuat pemerintah yang diwujudkan dalam peraturan yang ditegakkan pelaksanaannya.
4)   Pasien yang tidak memiliki asuransi tidak akan sanggup membayar suatu biaya pelayanan medis untuk kasus-kasus katastrofik (yang biaya pengobatan atau perawatan besar).
Cara pembayaran DRG di Indonesia sudah menjadi wacana sejak lebih daro 10 tahun yang lalu. Namun demikiam, karena sistem asuransi kesehatan atau sistem pembayaran rumah sakit oleh pemerintah belum berjalan dengan baik dan belum mencakup sebagian besar penduduk, maka cara pembayaran DRG hanya sampai wacana. Berbagai seminar dan studi telah dilakukan, namun komitmen pemerintah untuk menggunakan cara pembayaran DRG untuk mengendalikan biaya rumah sakit tampaknya masih sangat rendah. Rumah sakit sendiri masih belum mendapat insentif atau rangsangan untuk menggunakan cara pembayaran DRG.
b.         Pembayaran kapitasi
Di Indonesia pembayaran kapitasi oleh Askes dalam program penjaminan kesehatan masyarakat miskin ditetapkan sebesar Rp 1.000 per orang per bulan. Di Indonesia untuk pembayaran primer, biasanya sekitar 20% orang yang terdaftar akan berobat atau berkunjung ke puskesmas dalam sebulan. Jadi sesungguhnya dengan besaran kapitasi Rp 1.000, maka puskesmas dibayar oleh Askes sebesar 100/20 x Rp 1.000 = Rp 5.000 per kunjungan. Pihak puskesmas akan membandingkannya dengan tarif yang biasa digunakan dalam pembayaran JPP. Jika tarif puskesmas Rp 5.000, maka berarti pembayaran kapitasi sebesar Rp 1000 sudah pas. Tetapi, jika tarif di puskesmas adalah Rp 2.000 (apalagi di beberapa daerah sudah gratis), maka sesungguhnya pembayaran Askes sudah terlalu besar.
Tabel 2.2 Hipotesis Besaran Kapitasi untuk Sebuah Rumah Sakit di Kota Penuh Harapan
Jenis Pelayanan
Rates/1000
Rata-rata biaya
Kapitasi per

orang/th
per pelayanan ($)
orang per bulan ($)
Kunjungan rawat jalan
2.400
10.000
24.000
Kunjungan rumah sakit
350
30.000
10.500
Kunjungan emergensi
150
100.000
15.000
Check up
150
600.000
90.000
Bedah minor
240
500.000
120.000
Rawat inap
45
1.500.000
67.500
Rawat pulang hari yang sama
40
700.000
28.000
Tindakan kebidanan
25
750.000
18.750
Anestesi
80
500.000
40.000
Imunisasi dan suntikan
600
40.000
24.000
Lain
 -
Pelayanan medis lain
1
300.000
300
Total kapitasi/tahun
 -
 -
438.050
Total kapitasi per bulan

dibagi 12
36.504


Dengan menggunakan format yang sama dengan yang dilakukan Steenwyk, bisa menghitung besaran kapitasi untuk Indonesia dengan sedikit modifikasi rates ran rata-rata biaya. Hasil simulasi ini hanya hipotesis saja, tidak bisa digunakan sebagai patokan untuk diterapkan di suatu rumah sakit atau di suatu daerah. Besaran kapitasi baru bisa digunakan apabila rates dan rata-rata biaya benar-benar dihitung atas data di lapangan.
Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan secara luas, fasilitas kesehatan yang bersifat memaksimalakan laba dapat melakukan hal-hal sebagai berikut (Thabrany, 2001):
1)        Reaksi positif kapitasi
a)      Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat.
b)      Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insiden kesakitan.
c)      Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien jaminan kesehatan sebagai income security.
2)        Reaksi negatif kapitasi
a)      Jika kapitasi yang dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan primer, rawat jalan rujukan dan rawat inap rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, fasilitas kesehatan akan dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit.
b)      Fasilitas kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk melayani pasien non jaminan atau yang membayar dengan jasa per pelayanan yang “dinilai” membayar lebih banyak.
c)      Fasilitas kesehatan dapat tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien kapitasi tidak cukup banyak.
Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai reaksi negatif perilaku fasilitas kesehatan yang mendapatkan pembayaran kapitasi dan yang mendapatkan pembayaran jasa per pelayanan adalah dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan, dan kepuasan pasien.
c.         Pembayaran per kasus/paket
Sistem pembayaran per kasus (case rate) banyak digunakan untuk membayar rumah sakit dalam kasus-kasus tertentu. Pembayaran per kasus ini mirip dengan pembayaran DRG, yaitu dengan mengelompokkan berbagai jenis pelayanan menjadi satu kesatuan (Kongstvedt,1996). Pengelompokkan ini harus ditetapkan dulu di muka baru disetujui kedua belah pihak, yaitu pihak rumah sakit dan pihak pembayar. Sebagai contoh, kelompok pelayanan yang disebut per kasus misalnya pelayanan persalinan normal, persalinan dengan sectio, pelayanan ruang insentif akan tetap tidak berdasarkan diagnosis penyakit. Rumah sakit akan menerima pembayaran sejumlah tertentu atas pelayanan suatu kasus, tanpa mempertimbangkan berapa banyak dan berapa lama suatu kasus ditangani. Sebagai contoh yang paling umum adalah persalinan normal, misalnya Rp 2 juta per persalinan normal. Rumah sakit akan mendapat pembayaran sebesar Rp 2 juta, meskipun suatu persalinan ada persalinan yang memerlukan infus, partus lama, ada perdarahan lebih dari normal, ada yang dirawat 1 hari atau empat hari.
d.         Pembayaran per diem
Pembayaran per diem merupakan pembayaran yang dinegosiasi dan disepakati di muka yang didasari pada pembayaran per hari perawatan, tanpa mempertimbangkan biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit (Kongstvedt, 1996). Misalnya suatu badan asuransi atau pemerintah membayar per hari perawatan di kelas III sebesar Rp 250.000 per hari untuk kasus apapun yang sudah mencakup biaya ruangan, jasa, konsultasi/visit dokter, obat-obatan, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Sebuah rumah sakit yang efisien dapat mengendalikan biaya perawatan dengan memberikan obat yang paling cost-effective, memeriksa laboratorium hanya untuk jenis pemeriksaan yang memang diperlukan benar, memiliki dokter yang dibayar gaji bulanan dan bonus, serta berbagai penghematan lainnya; akan mendapatkan surplus.
e.         Global budget
Global budget (anggaran global) untuk rumah sakit banyak dilakukan di Eropa (Sandier, dkk, 2002) dan juga Malaysia. Sesungguhnya global budget merupakan cara pendanaan rumah sakit oleh pemerintah atau suatu badan asuransi kesehatan nasional dimana rumah sakit mendapat dana untuk membiayai seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun. Alokasi dana ke rumah sakit tersebut diperhitungkan dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan tahun sebelumnya, kegiatan lain yang diperkirakan akan dilaksanakan, dan kinerja rumah sakit tersebut. Manajemen rumah sakit mempunyai keleluasaan mengatur dana anggaran global tersebut untuk gaji dokter, belanja operasional, pemeliharaan rumah sakit, dan lain-lain. Sistem ini pada umumnya dilaksanakan di negara-negara dimana penduduk berhak mendapat pelayanan rumah sakit tanpa harus membayar atau membayar sedikit copayment.
D.      Masalah Pokok Pembiayaan Kesehatan dan Upaya Penyelesaiannya
1.         Masalah Pokok Pembiayaan Kesehatan
Jika ditinjau dari sudut pembiayaan kesehatan secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.      Kurangnya dana yang tersedia
Di banyak negara terutama di negara yang sedang berkembang, dana yang disediakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan tidaklah memadai. Rendahnya alokasi anggaran ini berkaitan dengan masih kurangnya kesadaran pengambil keputusan akan pentingnya arti kesehatan. Kebanyakan dari pengambilan keputusan menganggap pelayanan kesehatan tidak bersifat produktif melainkan bersifat konsumtif dan karena itu kurang diprioritaskan. Contoh di Indonesia misalnya, jumlah dana yang disediakan hanya berkisar antara 2 – 3% dari total anggaran belanja dalam setahun.
b.      Penyebaran dana yang tidak sesuai
Masalah lain yang dihadapi ialah penyebaran dana yang tidak sesuai, karena kebanyakan justru beredar di daerah perkotaan. Padahal jika ditinjau dari penyebaran penduduk, terutama di negara yang sedang berkembang, kebanyakan penduduk bertempat tinggal di daerah pedesaan.
c.      Pemanfaatan dana yang tidak tepat
Pemanfaatan dana yang tidak tepat juga merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam pembiayaan kesehatan saat ini, bahwa di banyak negara tenyata biaya pelayanan kedokterannya jauh lebih tinggi dari pada pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal semua pihak telah mengetahui bahwa pelayanan kedokteran dipandang kurang efektif dari pada pelayanan kesehatan masyarakat.
d.      Pengelolaan dana yang belum sempurna
Seandainya dana yang tersedia amat terbatas, penyebaran dan pemanfaatannya belum begitu sempuma, namun jika apa yang dimiliki tersebut dapat dikelola dengan baik, dalam batas-batas tertentu tujuan dari pelayanan kesehatan masih dapat dicapai. Sayangnya kehendak yang seperti ini sulit diwujudkan. Penyebab utamanya ialah karena pengelolaannya memang belum sempurna, yang kait berkait tidak hanya dengan pengetahuan dan keterampilan yang masih terbatas, tetapi juga ada kaitannya dengan sikap mental para pengelola.
e.      Biaya kesehatan yang makin meningkat
Masalah lain yang dihadapi oleh pembiayaan kesehatan ialah makin meningkatnya biaya pelayanan kesehatan itu sendiri. Banyak penyebab yang berperanan di sini, beberapa yang terpenting adalah (Cambridge Research Institute, 1976; Sorkin, 1975 dan Feldstein, 1988):
1)       Tingkat inflasi
Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang terjadi di masyarakat. Apabila terjadi kenaikan harga di masyarakat, maka secara otomatis biaya investasi dan biaya operasional pelayanan kesehatan masyarakat akan meningkat.
2)       Tingkat permintaan
Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan yang ditemukan di masyarakat. Untuk bidang kesehatan peningkatan permintaan tersebut dipengaruhi setidak-tidaknya oleh dua faktor. Pertama, karena meningkatnya kuantitas penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan, yang karena jumlah orangnya lebih banyak menyebabkan biaya yang harus disediakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan akan lebih banyak pula. Kedua, karena meningkatnya kualitas penduduk, yang karena pendidikan dan penghasilannya lebih baik, membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih baik pula. Kedua keadaan yang seperti ini, tentu akan besar pengaruhnya pada peningkatan biaya kesehatan.

3)       Kemajuan ilmu dan teknologi
Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan berbagai ilmu dan teknologi, yang untuk pelayanan kesehatan ditandai dengan makin banyaknya dipergunakan berbagai peralatan modern dan canggih.
4)       Perubahan pola penyakit
Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh terjadinya perubahan pola penyakit dimasyarakat. Jika dahulu banyak ditemukan berbagai penyakit yang bersifat akut, maka pada saat ini telah banyak ditemukan berbagai penyakit yang bersifat kronis. Dibandingkan dengan berbagai penyakit akut, perawatan berbagai penyakit kronis ini temyata lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan penyembuhan penyakit akan lebih banyak pula. Apabila penyakit yang seperti ini banyak ditemukan, tidak mengherankan jika kemudian biaya kesehatan akan meningkat dengan pesat.
5)       Perubahan pola pelayanan kesehatan
Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh perubahan pola pelayanan kesehatan. Pada saat ini sebagai akibat dari perkembangan spesialisasi dan subspesialisasi menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi terkotak-kotak (fragmented health services) dan satu sama lain tidak berhubungan. Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian sering dilakukan pemeriksaan yang sama secara berulang-ulang yang pada akhirya akan membebani pasien. Lebih dari pada itu sebagai akibat makin banyak dipergunakanya para spesialis dan subspesialis menyebabkan hari perawatan juga akan meningkat. Penelitian yang dilakukan Olell Feklstein (1971) menyebutkan jika Rumah Sakit lebih banyak mempergunakan dokter umum, maka Rumah Sakit tersebut akan berhasil menghemat tidak kurang dari US$ 39.000 per tahun per dokter umum, dibandingkan jika Rumah Sakit tersebut mempergunakan dokter spesialis dan atau subspesialis.
2.         Upaya Penyelesaian
Untuk mengatasi berbagai masalah sebagaimana dikemukakan, telah dilakukan berbagai upaya penyelesaian yang memungkinkan. Berbagai upaya yang dimaksud secara sederhana dapat dibedakan atas beberapa macam yakni :
a.      Upaya meningkatkan jumlah dana
1)       Terhadap pemerintah, meningkatkan alokasi biaya kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
2)       Terhadap badan-badan lain di luar pemerintah, menghimpun dana dari sumber masyarakat serta bantuan luar negri.
b.      Upaya memperbaiki penyebaran, pemanfaatan dan pengelolaan dana
1)       Penyempurnaan sistem pelayanan, misalnya lebih mengutamakan pelayanan kesehatan masyarakat dan atau melaksanakan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu.
2)       Peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga pengelola.
c.      Upaya mengendalikan biaya kesehatan
1)       Memperlakukan peraturan sertifikasi kebutuhan, dimana penambahan sarana atau fasilitas kesehatan hanya dapat dibenarkan jika dibuktikan dengan adanya kebutuhan masyarakat. Dengan diberlalukannya peraturan ini maka dapat dihindari berdiri atau dibelinya berbagai sarana kesehatan secara berlebihan.
2)     Memperlakukan peraturan studi kelayakan, dimana penambahan sarana dan fasilitas yang baru hanya dibenarkan apabila dapat dibuktikan bahwa sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut dapat menyelenggarakan kegiatannya dengan tarif pelayanan yang bersifat sosial.
3)     Memperlakukan peraturan pengembangan yang terencana, dimana penambahan sarana dan fasilitas kesehatan hanya dapat dibenarkan apabila sesuai dengan rencana pengembangan yang sebelumnya telah disetujui pemerintah
4)       Menetapkan standar baku pelayanan, diman pelayanan kesehatan hanya dibenarkan untuk diselenggarakan jika tidak menyimpang dari standar baku yang telah ditetapkan.
5)       Menyelenggarakan program menjaga mutu.
6)       Menyelenggarakan peraturan tarif pelayanan.
7)       Asuransi kesehatan.




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan di rumah sakit, bukanlah pelayanan yang dapat mengikuti hukum pasar seperti halnya pelayanan bengkel mobil atau pelayanan hotel. Akibatnya mekanisme pasar yang dapat mengendalikan biaya tidak terjadi didalam pelayanan kesehatan. Biaya pelayanan kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun yang lebih besar dari peningkatan karena inflasi. Biaya pelayanan kesehatan meningkat karena ada inflasi umum dan juga karena ada pelayanan baru dan peningkatan kualitas pelayanan karena adanya teknologi dan tuntutan baru. Berbagai pihak berupaya melakukan pengendalian biaya pelayanan kesehatan dengan berbagai cara pembayaran. Cara pembayaran tradisional yang jumlah ditentukan setelah pelayanan diberikan (pembayaran retrospektif) justru memberikan dorongan bagi inflasi yang lebih tinggi dan pemberian pelayanan baru yang semakin mahal.
Para ahli ekonomi kesehatan kemudian mengembangkan berbagai cara pembayaran prospektif, yaitu pembayaran yang jumlahnya sudah disepakati di muka, meskipun pembayarannya dilakukan setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran prospektif terdiri atas cara pembayaran kapitasi, pembayaran DRG, per kasus/paket, per diem, ambulatory care group, dan pembayaran anggaran global. Masing-masing cara pembayaran membutuhkan syarat-syarat tertentu dan rumah sakit dapat menerima satu atau lebih cara pembayaran.



B.       Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan yaitu mewajibkan seluruh penduduk yang memiliki upah atau penghasilan menjadi peserta asuransi kesehatan. Hal inilah yang nantinya akan menjadi tulang punggung pendanaan kesehatan di Indonesia dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA
Beck, Donald. 1984. Principles of Reimbursement in Health Care. Rockville, MD. USA: Aspen Publication. p. 12
Kongstvedt, P.R. (Ed). 1996. The Managed Health Care Handbook. Rockville, NM: Aspen Publication
Sandier, dkk. 2002. “France Health Care System.” Dalam Health Care Systems in Eight Countries: Trends and Challenges. Europen Observatory Health Care System
Smith, Howard L. dan Fottler. 1985. Myron D. Prospective Payment. Rockville, MD. USA: Aspen Publication. p. 2
Stefani, Delfi. 2013. Makalah Pembiayaan Kesehatan. [Online: https://delfistefani.wordpress.com] diakses pada tanggal 15 Oktober 2018 pukul 23.51
Thabrany, dkk. 2017. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan disarana Pelayanan Kesehatan Edisi revisi 3. Jakarta: UI-PRESS
Thabrany, Hasbullah. 2001. Rasional Pembayaran Kapitasi. Yayasan Penerbitan IDI, Rand Corporation. Free for all


Comments

Popular posts from this blog

Makalah Standar Prosedur Operasional (SPO) Surat Keterangan Medis (SKM)

Cara Membuat Celengan Koin dari Kardus Kecil